Penggunaan Bitcoin Rawan Penyimpangan
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan (F-Gerindra)/Foto:Iwan Armanias/Iw
Penggunaan mata uang virtual currency atau mata uang digital yang salah satunya adalah bitcoin dinilai rawan penyimpangan. Pada 2017, bitcoin mengalami valuasi hingga 1.000 persen. Sebagian kalangan bahkan memprediksi harganya bisa meledak jika ada risiko yang berpotensi memecahkan gelembung kenaikan harga tersebut.
"Pada tahun 2017, bitcoin membuat rekor baru. Harga 1 bitcoin lebih mahal daripada 1 ons emas atau sekitar Rp 55-56 juta. Ini aneh. Jangan sampai itu jadi gelembung dan pecah. Ujungnya masyarakat yang dirugikan. Masih lekat dalam ingatan kita dengan fenomena batu akik. Heboh di awal, tapi akhirnya redup. Batu akiknya masih ada, tapi nilainya jadi biasa saja," demikian dikemukakan anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya, Selasa (06/2/2018).
Risiko penggunaan mata uang seperti bitcoin ini, tidak boleh dipandang remeh, karena sebagai aset digital, nilai fundamental bitcoin belum bisa dievaluasi. Harga normal bitcoin pun tak diketahui pastinya. Nilai bitcoin selama ini ditentukan oleh spekulasi pasar. Tidak jelas betul apa yang menjadi faktor penentu dari naik turunnya nilai tukar bitcoin tersebut.
"Dalam regulasi yang ada, bitcoin ditolak sebagai mata uang atau alat pembayaran di Indonesia. Sebab, dalam regulasi di Indonesia, tidak mengenal alat pembayaran yang sah dengan nama bitcoin. Namun, yang aneh, peredarannya sejak awal tak dilarang," tutur Heri. Menurutnya, bitcoin masih kontroversial. Dalam Pasal 1 angka 2 UU No.7/2011 tentang Mata Uang, disebutkan uang adalah alat pembayaran yang sah.
Tentu saja uang yang sah itu adalah uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia yang disebut rupiah. Dalam pandangan Heri, bitcoin bermasalah secara legalitas, karena tak punya payung hukum sama sekali sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang disebutkan bahwa rupiah wajib digunakan pada setiap transaksi di seluruh wilayah NKRI. Bila tidak menggunakan rupiah, lanjut politisi dapil Jabar IV ini, dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda Rp 200 juta seperti diatur Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang.
Apalagi di balik penggunaan bitcoin itu tidak ada administratur resmi atau otoritas yang bertanggung jawab. "Bitcoin belum dianggap komoditas lantaran tidak adanya nilai fundamental. Di sisi lain instrumen ini juga tidak dapat dikatakan aset keuangan seperti saham karena tidak ada underlying asset-nya, sehingga sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan. Risiko lainnya adalah potensi adanya dugaan pencucian uang, asusila, sampai terorisme, bahkan untuk perdagangan obat terlarang,” urai Heri lebih dalam.
Butuh upaya sistematis dan koordinatif dari semua pihak terkait bitcoin. BI, OJK, Kemendag, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dan PPATK harus lebih aktif melakukan pemantauan. Apalagi regulasi bitcoin belum ada. “Jika ditemukan unsur pidana, harus segera ditindak demi menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Bank Indonesia harus melakukan sosialisasi lebih masif dan mengimbau masyarakat untuk tidak memperjualbelikan bitcoin, karena dapat mengganggu stabilitas sistem pembayaran nasional,” serunya. (mh/sc)